Rabu, 09 Juni 2010

10 Kriteria Aliran Sesat dari MUI

Banyak aliran sesat bermunculan. Bagaimana untuk mengenali dan mewaspadainya?
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah membuat kriterianya.

Ada sepuluh kriteria aliran sesat menurut MUI:
1. Mengingkari rukun iman dan rukun Islam
2. Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dalil syar`i (al-Quran dan as-Sunah)
3. Meyakini turunnya wahyu setelah al-Quran
4. Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi al-Quran
5. Melakukan penafsiran al-Quran yang tidak berdasarkan kaidah tafsir
6. Mengingkari kedudukan Hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam
7. Melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul
8. Mengingkari Nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir
9. Mengubah pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariah
10. Mengafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar’i.

Jika menemukan yang demikian, waspadai dan hindari!

Senin, 17 Mei 2010

Fatwa MUI tentang Aliran-Aliran Sesat di Indonesia




Judul : Mengawal Aqidah Umat: Fatwa MUI tentang Aliran-Aliran Sesat di Indonesia
Penyunting : Tim Sekretariat MUI
Penerbit : MUI-Pusat
Tebal : 121 + i- iii

Akhir-akhir ini, sekurang-kurangnya dalam satu dasa warsa terakhir ini, berbagai ragam pemikiran dan pemahaman ajaran Islam muncul ke ranah kehidupan masyarakat kita dalam aliran keagamaan atas nama Islam. Publikasinya demikian intens, daerah sebarannya kian meluas, baik di perkotaan maupun pedesaan yang selama ini tenang dan tenteram tanpa gejolak.

Seolah ada ‘pabriknya’, beragam paham dan aliran itu pun menyeruak ke dalam kehidupan spritual keagamaan masyarakat dengan label Islam hingga menimbulkan kebingungan, tanda tanya dan konflik dengan lingkungan sosialnya.

Seperti ada dirigen pemandunya, sebuah panduan suara dukungan, advokasi dan provokasi yang dikemas dalam pemberitaan dan opini media massa disuarakan oleh sebagian masyarakat kita. Atas nama HAM, kebebasan beragama dan keyakinan, serta demokratisasi di ruang publik telah terbangun wacana yang dapat menyesatkan pemahaman umat Islam terhadap ajaran agamanya, sebagaimana tuntunan al-Quran dan Ijma’ Ulama.

Maka berbagai aliran sesat atas nama Islam yang sebelumnya nyaris dilupakan masyarakat seperti memperoleh energi baru dan muncul kembali.

Atas dasar pertimbngan tersebut, MUI Pusat memandang perlu untuk menerbitkan buku ini, sebuah buku yang berisi tentang fatwa-fatwa MUI tentang aliran sesat di Indonesia. Selamat membaca!




Hanung: Film Kisah Dahlan Muda, Lahir Untuk Generasi Muda

Yogyakarta – Sutradara Film Ayat Ayat Cinta, Hanung Bramantyo, terus bersemangat mewujudkan impiannya untuk memfilmkan kisah Pendiri Persyarikatan Muhammadiyah, Kyai Haji Ahmad Dahlan. Ahad (16/05/2010) Sutradara peraih Piala Citra FFI 2005 dan 2007 ini menyatakan bahwa proses pembuatan film yang berkisah Kyai Dahlan berumur 15 hingga 44 tahun ini sudah tahap persiapan pengambilan gambar.

Hanung dalam acara syukuran dimulainya proses syuting di Kantor PP Muhammadiyah, Jl Cik Di Tiro Yogyakarta, itu memaparkan bahwa film ini merupakan film yang akan memberikan gambaran bahwa sebenarnya Muhammadiyah adalah organisasi Islam yang didirikan oleh anak-anak muda. “Selama ini Kyai Dahlan yang dikenal anak-anak muda sekarang adalah orang tua, karena foto yang ada sekarang foto ketika berumur 54 tahun, sehingga dianggap mereka Muhammadiyah didirikan oleh orang-orang tua” terangnya.

Menurut Hanung sebenarnya sejak umur 21 tahun Ahmad Dahlan yang pada masa mudanya bernama Muhammad Darwis itu sudah memulai gerakannya memurnikan Islam, disaat Ahmad Dahlan pulang dari Makkah yang pertama. Sehingga sosok Ahmad Dahlan ini seperti layaknya anak-anak muda sekarang yang pulang belajar dari luar negeri, bisa dari Amerika atau dari negara lainnya dan kemudian ingin merubah lingkungannya.

“Sosok Ahmad Dahlan atau Darwis Muda ini membuat saya berfikir dimana disaat Indonesia belum lahir, disaat Indonesia belum impor internet dari Amerika, anak muda Muhammad Darwis yang berumur 21 tahun itu sudah mampu berjuang untuk merubah lingkungannya” kata suami Zaskia Adya Mecca itu.

“Keinginan beliau tidaklah besar-besar sebenarnya, bukan seperti seorang Sukarno yang ingin mengubah Dunia. Dahlan pada mulanya hanya ingin mengubah kampungnya saja” lanjutnya.

Pencerahan Anak Muda

Keinginan untuk menghadirkan gambaran perintisan Muhammadiyah oleh anak-anak muda kauman ini juga didukung dengan dilibatkannya artis-artis muda seperti Ihsan “Indonesian Idol” dan Luqman Sardi (Muhammad Darwis - Ahmad Dahlan), Zaskia Adya Mecca (Nyi Walidah muda), Giring Nidji (Kyai Suja’ muda), dan Denis Adiswara (Kyai Hisyam muda). Penggarapan Soundtracknya pun menurut Aris Muda Irawan dari Multi Vision Plus Pictures dipercayakan kepada Grup Band Nidji yang sebelumnya juga sukses menggarap Soundtrack Film kehidupan sekolah Muhammadiyah di Belitong, Laskar Pelangi.

Menurut hasil riset dalam pembuatan skenario film ini, Muhammadiyah pada tahun 1912 didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan yang waktu itu berusia 44 tahun, dengan 6 anggota pertama yang diantaranya bernama Muhammad Danil (Kemudian bernama Kyai Suja’ ) dan Muhammad Jazuri (Kemudian bernama Kyai Fahruddin) adalah anak-anak muda Kampung Kauman.

Jauh sebelum pendirian Muhammadiyah tersebut, diusia 21 tahun Ahmad Dahlan telah memulai gerakannya didampingi istrinya, Nyai Walidah untuk memurnikan sekaligus memodernkan pengamalan Islam warga Yogyakarta dan sekitarnya walaupun sempat dijuluki Kyai Kafir. Sejarah mencatat adanya Geger Al Maun karena Ahmad Dahlan bersama para muridnya mengumpulkan para pengemis dan gelandangan di pasara beringharjo untuk dimandikan dan dibawa ke Langgar (Surau) nya.

Pada kesempatan lain juga terjadi bagaimana Kyai Ahmad Dahlan harus kehilangan Langgarnya karena Kyai Kholil Kamaludiningrat, Penghulu Keraton Yogyakarta waktu itu tidak berkenan dengan upaya pelurusan arah kiblat masjid Besar Kauman, pendirian sekolah Islam dengan metode barat dan juga member kesempatan peran perempuan di wilayah publik yang kesemuanya terjadi sebelum Muhammadiyah berdiri.

Riset ini didukung oleh para tokoh seperti Lembaga Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Abdul Munir Mulkan, Drs. Adhabi Dharban SU, Keluarga Besar Kyai Haji Ahmad Dahlan dan juga tokoh – tokoh di Kauman Yogyakarta berdasarkan buku- buku dan interpretasi mereka tentang sosok Kyai Dahlan. (arif)

Sumber: www.muhammadiyah.or.id

Hisyam Kabbani: NU Selamatkan Aswaja

Kamis, 13 Mei 2010 09:27

Jakarta, NU Online

Nahdlatul Ulama yang telah berjuang sejak Komite Hijaz menyelamatkan makam Rasulullah dan Sahabat Abu Bakar dan Umar RA. di Madinah dari perusakan penguasa Hijaz, sejatinya telah menyelamatkan akidah Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja). Dengan penyelamatan situs ini, NU menyelamatkan Aswaja dari sisi pandangan hukum maupun kenyataan.

"Mayoritas masyarakat bahkan tidak mengetahui, dan tidak memperdulikan hal ini. Karena Kami selalu mendoakan agar para ulama NU saat ini diberi kekuatan untuk senantiasa membela faham Aswaja di muka bumi," tutur Syeikh Hisyam Kabbani ketika diterima Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj, di Gedung PBNU Jl. Kramat Raya 164 Jakarta, Rabu (12/5).

Lebih lanjut Hisyam Kabbani berharap, NU tetap dapat menjaga kemajemukan dan perbedaan pendapat yang merupakan rahmat. "Karena telah banyak contoh di negara-negara Muslim, bahwa mereka yang tidak dapat menghargai perbedaan akan terjerumus ke dalam perpecahan dan peperangan," terang Hisyam.

Hisyam kemudian mencontohkan negara-negara seperti Pakistan, Afganistan, Irak dan sebagian besar negara-negara Afrika yang menjadi medan perang di antara sesama Muslim. Tragisnya, lanjut Hisyam, pertikaian tersebut seringkali disulut oleh perbedaan sekte agama, seperti antara sunni dengan syiah.

"Padahal Allah memerintahkan kepada segenap umatnya untuk selalu bersatu dan berpegang teguh dengan agama Allah. Sementara kenyataan yang berlaku sungguh-sungguh sangat menyedihkan," jelas Hisyam.

Karenanya, tutur Hisyam, persatuan dan ikatan silaturrahim yang terjalin antara NU dan organisasi-organisasi lain di Indonesia seperti Muhammadiyah, mestinya dapat dijadikan contoh kerukunan antar umat Islam oleh masyarakat Muslim dunia. (min)

Sumber: www.nu.or.id

Profil Majelis Ulama Indonesia (MUI)


Majelis Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama,zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu'ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air.

Antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Propinsi di Indonesia, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math'laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, AD, AU, AL dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan.

Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama. zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah "PIAGAM BERDIRINYA MUI", yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I.

Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat.

Ulama Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa mereka adalah pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya). Maka mereka terpanggil untuk berperan aktif dalam membangun masyarakat melalui wadah MUI, seperti yang pernah dilakukan oleh para ulama pada zaman penajajahan dan perjuangan kemerdekaan. Di sisi lain umat Islam Indonesia menghadapi tantangan global yang sangat berat. Kemajuan sains dan teknologi yang dapat menggoyahkan batas etika dan moral, serta budaya global yang didominasi Barat, serta pendewaan kebendaan dan pendewaan hawa nafsu yang dapat melunturkan aspek religiusitas masyarakat serta meremehkan peran agama dalam kehidupan umat manusia.

Selain itu kemajuan dan keragaman umat Islam Indonesia dalam alam pikiran keagamaan, organisasi sosial dan kecenderungan aliran dan aspirasi politik, sering mendatangkan kelemahan dan bahkan dapat menjadi sumber pertentangan di kalangan umat Islam sendiri.

Akibatnya umat Islam dapat terjebak dalam egoisme kelompok (ananiyah hizbiyah) yang berlebihan. Oleh karena itu kehadiran MUI, makin dirasakan kebutuhannya sebagai sebuah organisasi kepemimpinan umat Islam yang bersifat kolektif dalam rangka mewujudkan silaturrahmi, demi terciptanya persatuan dan kesatuan serta kebersamaan umat Islam.

Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima tahun Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu'ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu wa Ta'ala; memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta; menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional; meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.

Dalam khitah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI yaitu:

1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya)
2. Sebagai pemberi fatwa (mufti)
3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Riwayat wa khadim al ummah)
4. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid
5. Sebagai penegak amar ma'ruf dan nahi munkar

Sampai saat ini Majelis Ulama Indonesia mengalami beberapa kali kongres atau musyawarah nasional, dan mengalami beberapa kali pergantian Ketua Umum, dimulai dengan Prof. Dr. Hamka, KH. Syukri Ghozali, KH. Hasan Basri, Prof. KH. Ali Yafie dan kini KH. M. Sahal Maffudh. Ketua Umum MUI yang pertama, kedua dan ketiga telah meninggal dunia dan mengakhiri tugas-tugasnya. Sedangkan dua yang terakhir masih terus berkhidmah untuk memimpin majelis para ulama ini.

Demikianlah sekilas tentang Majelis Ulama Indonesia.


Sumber: www.mui.or.id